Minggu, 21 Agustus 2011

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA



A. Pendahuluan
Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah 'guru' dan 'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud bukan sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah 'digugu' (didengar) dan 'ditiru' (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya.
Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter. 

B. Pentingnya Pendidikan Karakter
Tindakan menyimpang yang dilakukan pelajar membuat pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan di berbagai jenjang sekolah.Fondasi karakter yang kuat,tentunya juga akan menjadikan pelajar mampu bersaing kelak di kancah internasional. Wajah pendidikan Indonesia tercoreng dengan berbagai pemberitaan miring. Sebut saja mulai aksi tawuran, bullying, penyalahgunaan narkotika dan alkohol, seks bebas di kalangan pelajar yang berujung pada aborsi,dan sebagainya. Namun, tidak sedikit pula pelajar Indonesia yang berhasil menorehkan prestasi di berbagai bidang dan diakui dunia. Fakta yang ada menunjukkan, sudah saatnya pendidikan karakter kembali dimantapkan lewat pendidikan di bangku sekolah.
Bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada Mei silam, Kementrian Pendidikan Nasional mencanangkan penerapan pendidikan karakter pada semua jenjang pendidikan yang dimulai sejak sekolah dasar (SD). Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, pendidikan karakter pada jenjang SD mendapat porsi lebih besar ketimbang tingkat lainnya. Hal ini agar lebih mudah diajarkan dan melekat di jiwa anak anak itu hingga dewasa kelak.
Karena jika tidak terbentuk sejak dini, maka akan susah untuk mengubah karakter seseorang ke depannya. Pendidikan karakter yang akan diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. “Namun,dilaksanakan dalam keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah,”. Pendidikan karakter harus mampu menyukseskan proses internalisasi nilai-nilai moral. “Jadi, bukan sekadar mengetahui mana yang baik dan buruk”.
Seorang siswa juga harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan benar dalam kehidupan sehari hari,”. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan, sehingga menjadi insan kamil.
Penerapan pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan semua komponen (stakeholders), termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Di beberapa sekolah,pendidikan karakter sudah menjadi bagian dari keseharian dan berjalan dengan tertib. Ada sekolah yang membagi dua target utamanya, yakni budi pekerti luhur dan jiwa kepemimpinan (leadership) yang merupakan bagian dari pembentukan karakter siswanya. Kedua kegiatan ini bukan berada dalam mata pelajaran tertentu, melainkan terintegrasi pada seluruh pelajaran dan ritual, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Sekolah harus mendidik siswa agar berkarakter sejak kedatangan hingga kembali ke rumah.

C. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Matematika
Sebagai contoh para pendidik matematika perlu merenungi kembali sebenarnya untuk apa matematika diajarkan kepada siswa? Tentu bukan untuk mengetahui semua matematika yang ada atau sebanyak mungkin mengetahui matematika. Jawab yang harus menjadi perhatian adalah matematika diberikan kepada siswa untuk membantu siswa agar tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta terampil menggunakan matematika dan penalarannya dalam kehidupannya kelak. Ini berakibat proses pembelajaran matematika harus diupayakan secara terencana agar dapat mencapai tidak saja tujuan dalam ranah kognitif, tetapi juga afektif, serta psikomotor.  Ini berarti pembelajaran nilai dengan wahana matematika perlu dikembangkan.
Pembelajaran matematika tidak lagi hanya tertumpu pada pencapaian tujuan kognitif, namun sekaligus harus meningkatkan pencapaian tujuan afektif dan psikomotor. Dengan demikian pembelajaran matematika harus meningkatkan perhatian kepada pembelajaran nilai-nilai. Ini berarti bahwa materi yang akan diberikan kepada siswa harus benar-benar diseleksi, baik yang lama maupun yang baru. Banyaknya materi bukanlah tujuan pembelajaran matematika di pendidikan dasar 9 tahun, tetapi materi yang mempunyai banyak nilai harus menjadi pilihan dalam menentukan kurikulum sekolah. Untuk itu perlu diupayakan bagaimana memfungsikan matematika sekolah sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, ketrampilan, serta untuk membentuk karakter siswa.

D. Pembelajaran Nilai by Chance
Pembelajaran matematika tidak hanya mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang membentuk karakter siswa. Untuk dapat mengetahui apakah nilai edukasi pembentuk karakter siswa telah tercapai tidaklah mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan upaya yang terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama.
Sadar ataupun tidak seseorang yang mempelajari matematika telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan-kesepakatan itu terdapat dalam matematika yang rendah maupun yang tinggi. Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa symbol atau lambang, istilah atau konsep, definisi, serta aksioma. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali kesepakatan-kesepakatan, baik yang tertulis maupun yang tidak. Dengan demikian seseorang yang telah dibiasakan belajar matematika yang penuh kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam matematika (yang berasas dikotomi) ketaatasaan atau konsistensi yaitu tidak dibenarkannya muncul kontradiksi, merupakan hal yang sangat penting dan harus dipertahankan. Bila pernyataan “melalui suatu titik P diluar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a” diterima sebagai benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b” harus ditetapkan sebagai salah. Inilah salah satu contoh tentang konsistensi dalam matematika. Seseorang yang telah terbiasa berpikir matematika, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan.
Dari ciri-ciri matematika sebagai ilmu banyak sekali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dengan mempelajari matematika diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika itu akan tercapai dengan sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur, akan taat pada aturan, bersikap demokratis, dan sebagainya. Perencanaan pembelajaran semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-chance.
Pembelajaran nilai diharapkan juga tercapai dengan model pembelajaran yang dipilih guru dalam mengajarkan matematika. Misalkan seorang guru melaksanakan model pembelajaran kooperatif, sewaktu ia harus menyampaikan informasi ataupun konsep dengan metode ceramah, maka diharapkan siswa dengan sendirinya mengetahui nilai “ ing ngarsa sung tuladha”, ia harus benar-benar siap dan tahu benar bahwa contoh konsep yang ia berikan adalah baik dan benar. Hal serupa juga terjadi sewaktu guru melaksanakan pembelajaran model direct instruction . Bila seorang guru sedang melaksanakan model pembelajaran matematika dengan diskusi siswa, dan melihat bahwa arah diskusi tidak cocok dengan tujuan pembelajaran, kemudian melalui pertanyaan ia meluruskannya, maka saat itu ia  mengharapkan siswa mengetahui nilai “ ing madya mangun karsa”. Tetapi bila saat diskusi berjalan yang berbicara siswa tertentu saja, guru memberi dorongan agar siswa yang lain juga ikut mengajukan pendapat, maka saat itu ia mengharapkan siswa mengerti nilai “tut wuri handayani”. Perencanaan pembelajaran matematika yang mengharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika atau nilai-nilai dalam proses pembelajaran itu tercapai dengan sendirinya dinamakan perencanaan pembelajaran nilai by-chance

E. Pembelajaran Nilai by Design
Perencanaan pembelajaran nilai dalam matematika secara  by chance masih juga tetap diperlukan. Namun dengan adanya perkembangan matematika yang demikian pesat serta diperlukannya matematika dan pemikiran matematis diberbagai bidang  kerja yang tidak langsung menggunakan rumus-rumus matematika, maka diperlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai tersebut. Perencanaan pembalajaran matematika semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-design .
Perencanan pembelajaran by-design dapat dilakukan dengan merancang suatu scenario pembelajaran, maupun memilih model pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, sikap demokratis siswa akan dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar matematika. Sudah barang tentu dalam merancang scenario pembelajaran by-design , rumusan tujuan pembelajaran perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor.
Sikap demokratis siswa akan dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar matematika dengan materi ajar jajargenjang, dengan scenario pembelajaran yang menggunakan proses Inactive-Iconic-Symbolic yang dikemukakan oleh J. Brunner. Misalkan guru melakukan proses pembelajaran sebagai berikut ini:
  1. Siswa dihadapkan pada sebuah segitiga ABC dari kertas. Dengan titik tengah salah satu sisinya, missal P titik tengah dari sisi AC, siswa diminta memutar segitiga ABC searah jarum jam sebesar 1800. Bila segitiga dalam letak awal dan akhir dijiplak atau digambar, maka akan terjadi segiempat yang diberi nama jajargenjang (misal diberi nama ABCBl).
  2. Siswa diminta mengamati hasil kerjanya dan mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama, sebagai akibat pemutaran itu. Temuan masing-masing siswa atau kelompok siswa itu kemudian ditulis.
  3. Berdasar pada temuan masing-masing siswa atau kelompok siswa, mereka diminta untuk membuat kalimat definisi. Mungkin dengan bantuan guru misal, guru menulis dipapan tulis; “Jajargenjang adalah segi empat yang ……” .
  4. Tentu akan diperoleh beberapa definisi sesuai dengan temuan siswa atau kelompok siswa masing-masing.
  5. Setelah guru dapat menyatakan bahwa masing-masing definisi yang dibuat siswa benar semua, guru mengarahkan siswa untuk menyepakati salah satu definisi saja yang dipakai.
  6. Selanjutnya masalah-masalah tentang jajargenjang diselesaikan menggunakan definisi tersebut dan sifat-sifat lain yang telah dipelajari siswa.
Kalau diperhatikan secara hati-hati kegiatan belajar mengajar yang direncanakan tersebut secara sengaja memasukkan nilai edukasi sesuai domain afektif dan psikomotor. Siswa diminta aktif secara fisik membentuk jajargenjang, kemudian secara cermat mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama, kemudian secara bebas mengemukakan pendapat tentang definisi jajargenjang, dan selanjutnya membuat kesepakatan tentang definisi yang akan dipakai selanjutnya. Scenario pembelajaran matematika tersebut menunjukkan bahwa sikap demokratis dapat dibentuk melalui kegiatan belajar matematika.

F. Kesimpulan
            Tidak semua tamatan pendidikan dasar dalam kehidupan selanjutnya akan menggunakan langsung matematika, tetapi dapat dipastikan bahwa sebagian besar diantara mereka akan menggunakan penalaran matematika. Perlu diupayakan bagaimana memfungsikan matematika sekolah sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, ketrampilan, serta untuk membentuk karakter siswa.
Perencanaan pembelajaran matematika yang mengharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika itu akan tercapai dengan sendirinya disebut perencanaan pembelajaran by-chance. Dengan adanya perkembangan matematika yang demikian pesat serta diperlukannya matematika dan pemikiran matematis diberbagai bidang  maka diperlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai yang terkandung dalam matematika. Perencanaan pembalajaran matematika semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-design . Perencanan pembelajaran by-design dapat dilakukan dengan merancang suatu scenario pembelajaran, maupun memilih model pembelajaran tertentu. Dalam merancang scenario pembelajaran by-design , rumusan tujuan pembelajaran perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini. 2010. Pendidikan Karakter. REPUBLIKA, , Senin, 14 Juni 2010
Carin, Arthur A. 1993. Teaching Modern Science. Sixth edition. Merril, an imprint of Macmillian Publishing Company, New York.
Davidson, Neil & Kroll D.L. 1991. An Overview of Research on Cooperatif Learning Related to Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education. 22(5): 362-365.
 Direktorat SLTP. 2000. Memahami dan Menangani Siswa dengan Problem dalam Belajar. Depdiknas, Jakarta.
Hill, Susan dan Tim Hill. 1993. The Collaborative Classroom : A guide to cooperatif  learning. Viktoria : Eleamor Cartain Publishing.
Johnson, David W. dan Rager T. Johnson. 1994. Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning.Fourth edition. Allyn ang Bacon, Massachussets.
Joyce, Bruce. dan Marsha Weil. 1992. Models of Teaching. Allyn ang Bacon, Massachussets.
Widada, Wahyu. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMU yang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya, Surabaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar