Minggu, 28 Agustus 2011

TEKNIK EVALUASI MODEL PEMBELAJARAN YANG KREATIF DAN PRODUKTIF



A. Pendahuluan
Pada dasarnya upaya-upaya perbaikan dan penerapan program-program pembelajaran inovatif yang di antaranya merupakan penerapan konsep-konsep: Pembelajaran Siswa Aktif, Multiple Intellegence, Holistic Education, Experiencial Learning, Problem Based Learning, Accelerated Learning, Cooperative Learning, Collaborative Learning, Mastery Learning, Contextual Learning, dan Constructivism dilakukan mengarah kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centred, learning-oriented), untuk memberikan pengalaman belajar yang menantang dan sekaligus menyenangkan. Lebih jauh, siswa diharapkan terbiasa menggunakan pendekatan mendalam (deep approach) dan pendekatan strategis (strategic approach) dalam belajar, bukan sekedar belajar mengingat informasi atau belajar untuk lulus saja. Yang terakhir itu sering disebut dengan pendekatan permukaan (surface approach), atau belajar hafalan (rote learning) yang masih dominan di kalangan para siswa dewasa ini.
Makalah ini akan membahas tentang suatu inovasi model pembelajaran yang kreatif dan produktif. Model Pembelajaran kreatif dan produktif merupakan model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Pendekatan tersebut antara lain: belajar aktif, kreatif, konstruktif, serta kolaboratif dan kooperatif. Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk yang bersumber dari pemahaman mereka terhadap konsep yang sedang dikaji. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1.        Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran. Keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dari konsep bidang ilmu yang sedang dikaji serta menafsirkan hasil ekplorasi tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk menjelajahi berbagai sumber yang relevan dengan topik/konsep/masalah yang sedang dikaji. Eksplorasi ini akan memungkinkan siswa melakukan interaksi dengan lingkungan dan pengalamannya sendiri, sebagai media untuk mengkonstruksi pengetahuan.
2.        Siswa didorong untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan. Dengan cara ini, konsep tidak ditransfer oleh guru kepada siswa, tetapi dibentuk sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang terjadi ketika melakukan eksplorasi serta interpretasi. Dengan perkataan lain, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga pemahamannya terhadap fenomena yang sedang dikaji menjadi meningkat. Di samping itu, siswa didorong untuk memunculkan berbagai sudut pandang terhadap topik/konsep/masalah yang sama, dan untuk mempertahankan sudut pandangnya dengan menggunakan argumentasi yang relevan. Hal-hal ini merupakan salah satu realisasi hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran.
3.        Siswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama. Kesempatan ini diberikan melalui kegiatan eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Di samping itu, siswa juga mendapat kesempatan untuk membantu temannya dalam menyelesaikan satu tugas. Kebersamaan, baik dalam eksplorasi, interpretasi, serta re-kreasi dan pemajangan hasil merupakan arena interaksi yang memperkaya pengalaman.
4.        Pada dasarnya, untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi tinggi, antusias, serta percaya diri (Erwin Segal, dalam Black, 2003). Dalam konteks pembelajaran, kreativitas dapat ditumbuhkan dengan menciptakan suasana kelas yang memungkinkan siswa dan guru merasa bebas mengkaji dan mengeksplorasi topik-topik penting kurikulum. Guru mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berpikir keras, kemudian mengejar pendapat siswa tentang idea-idea besar dari berbagai perspektif. Guru juga mendorong siswa untuk menunjukkan/ mendemonstrasikan pemahamannya tentang topik-topik penting dalam kurikulum menurut caranya sendiri (Black, 2003).
Dengan mengacu kepada karakteristik tersebut, model pembelajaran kreatif dan produktif diasumsikan mampu memotivasi siswa dalam melaksanakan berbagai kegiatan, sehingga mereka merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara kreatif. Dengan karakteristik seperti itu, model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran berbagai bidang studi, baik untuk topik-topik yang bersifat abstraks maupun yang bersifat konkret.
Jika model pembelajaran kreatif dan produktif ini dilakukan apa sebenarnya tujuan model pembelajaran ini? Materi apa saja yang dapat disampaikan mengunakan model pembelajaran ini? bagaimana kegiatan pembelajaran tersebut dilakukan? Bagaimana seharusnya evaluasi dilakukan? Pertanyaan tersebut akan diungkapkan dalam makalah ini dalam rangka menentukan teknik evaluasi dalam model pembelajaran yang inovatif, yang pada tulisan ini  model pembelajaran yang dipakai adalah model pembelajaran kreatif dan produktif.

B. Tujuan (Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring)
Dampak instruksional yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini antara lain:
1.        pemahaman terhadap suatu nilai, konsep, atau masalah tertentu,
2.        kemampuan menerapan konsep / memecahkan masalah, serta
3.        kemampuan mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman tersebut.
Dari segi dampak pengiring (nurturant effects), melalui model pembelajaran kreatif dan produktif diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bertanggung jawab, serta bekerja sama; yang semuanya merupakan tujuan pembelajaran jangka panjang. Tentu saja dampak pengiring hanya mungkin terbentuk, jika kesempatan untuk mencapai/menghayati berbagai kemampuan tersebut memang benar-benar disediakan secara memadai. Hal itu akan tercapai, jika model pembelajaran ini diterapkan secara benar dan memadai.

C. Materi
Materi yang sesuai disajikan dengan model kreatif dan produktif merupakan materi yang menuntut pemahaman yang tinggi terhadap nilai, konsep, atau masalah aktual di masyarakat serta keterampilan menerapkan pemahaman tersebut dalam bentuk karya nyata. Berbagai bidang baik konkrit atau abstrak seperti Sastra, IPA, IPS, Bahasa, Matematika, dll dapat menggunakan model pembelajaran ini.

D. Kegiatan Pembelajaran
Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran dibagi menjadi empat langkah, yaitu: orientasi, eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru, dengan berpegang pada hakikat setiap langkah, sebagai berikut.

1.      Orientasi
Sebagaimana halnya dalam setiap pembelajaran, kegiatan pembelajaran diawali dengan orientasi untuk mengkomunikasikan dan menyepakati tugas dan langkah pembelajaran. Guru mengkomunikasikan tujuan, materi, waktu, langkah, hasil akhir yang diharapkan dari siswa, serta penilaian yang akan diterapkan. Pada kesempatan ini siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang langkah/cara kerja serta hasil  penilaian. Negosiasi tentang aspek-aspek tersebut dapat terjadi antara guru dan siswa, namun pada akhir orientasi diharapkan sudah terjadi kesepakatan antara guru dan siswa.

2.      Eksplorasi
Pada tahap ini, siswa melakukan eksplorasi terhadap masalah/konsep yang akan dikaji. Eskplorasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, melakukan observasi, wawancara, menonton satu pertunjukan, melakukan percobaan, browsing lewat internet, dan sebagainya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Waktu untuk eksplorasi disesuaikan dengan luasnya bidang yang harus dieksplorasi. Eksplorasi yang memerlukan waktu lama dilakukan di luar jam pelajaran, sedangkan eksplorasi yang singkat dapat dilakukan pada jam pelajaran. Agar eksplorasi menjadi terarah, panduan singkat sebaiknya disiapkan oleh guru.

3.      Interpretasi
Dalam tahap interpretasi, hasil eksplorasi diinterpretasikan melalui kegiatan analisis, diskusi, tanya jawab, atau bahkan berupa percobaan kembali, jika hal itu memang diperlukan. Interpretasi sebaiknya dilakukan pada jam tatap muka, meskipun persiapannya sudah dilakukan oleh siswa di luar jam tatap muka. Jika eksplorasi dilakukan oleh kelompok, setiap kelompok menyajikan hasil pemahamannya tersebut di depan kelas dengan caranya masing-masing, diikuti oleh tanggapan dari siswa lain. Pada akhir tahap interpretasi, diharapkan semua siswa sudah memahami konsep/ topik/masalah yang dikaji.

4.      Re- Kreasi
Dalam tahap re-kreasi, siswa ditugaskan untuk menghasilkan sesuatu yang mencerminkan pemahamannya terhadap konsep/ topik/masalah yang dikaji menurut kreasinya masing-masing. Re-kreasi dapat dilakukan secara individual atau kelompok sesuai dengan pilihan siswa. Hasil re-kreasi merupakan produk kreatif dapat dipresentasikan, dipajang, atau ditindaklanjuti.

E. Evaluasi
Evaluasi belajar dilakukan selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran. Selama proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap dan kemampuan berpikir siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan/ argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran. Evaluasi pada akhir pembelajaran adalah evaluasi terhadap produk kreatif yang dihasilkan siswa. Kiteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi.
Dengan demikian evaluasi yang dapat menunjukkan prestasi siswa merupakan proses terus menerus mencari fakta sehingga dapat diambil kesimpulan bagaimana prestasi yang menggambarkan kekuatan, kemampuan dan pencapaian siswa termasuk didalamnya pemahaman konsep, penalaran dan berkomunikasi, serta penyelesaian masalah. Penilaian dalam pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran dengan mengidentifikasi konflik kognitif yang dimiliki siswa sehingga perlu remidi, dihilangkan atau bahkan diganti. Selain itu penilaian juga untuk mengidentifikasi strategi belajar siswa yang paling bisa berhasil, menginformasikan kekuatan atau kelemahan siswa tentang pengetahuan dan strateginya, menginformasikan kepada guru untuk digunakan didalam pembelajaran sehingga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.
Hasil penilaian tentang prestasi siswa seharusnya dapat memberikan informasi tentang kompetensi siswa antara lain kemampuan:
  1. Membaca, mendengar, menyimpan sesuatu informasi yang memberikan informasi tentang pemahaman konsep
  2. Menganalisis, mensintesis, merefleksi, dan mengembangkan ide sebagai informasi tentang penalaran (pengetahuan strategi)
  3. Mengaplikasikan proses  berpikir logik seperti: mendefinisikan suatu bentuk, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menghipotesakan penyelesaian masalah yang akhirnya mampu menyelesaikan atau membuktikan
  4. Menyampikan informasi atau pemahamannya secara tulisan atau lisan
  5. Bekerja mandiri, namun juga berkolaborasi dengan sesama temannya untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok
Dari kelima komponen tersebut, nampaklah bahwa penilaian itu memang seharusnya terintegrasi dalam pembelajaran. Penilaian yang menyatu dalam pembelajaran memerlukan 6 standar penilaian, yaitu:
  1. Merefleksikan pemahaman konsep yang diketahui dan dapat dikerjakan siswa.
  2. Dapat meningkatkan proses pembelajaran
  3. Dapat mendorong ekuilibrasi dalam proses adaptasi suatu informasi
  4. Merupakan proses terbuka
  5. Dapat memberikan kesimpulan yang valid tentang hasil belajar
  6. Merupakan proses yang koheren (NCTM,2000).
Dari keenam standar tersebut diperlukan kriteria penilaian agar bisa dijabarkan lebih lanjut. Untuk menilai apa yang telah dipelajari siswa diperlukan karakteristik penilaian (Sawada, 1997: Kilpatrick, dkk, 2001) yang diantaranya adalah:
1.      Kelancaran. Siswa lancar dalam menyelesaikan masalah. Indikasinya adalah berapa banyak solusi atau berapa cara menyelesaikan masalah yang yang dapat dihasilkan oleh siswa.
2.      Fleksibilitas. Siswa dapat menemukan ide-ide  yang fleksibel, indikasinya adalah berapa banyak ide yang berbeda yang ditemukan siswa.
3.      Keaslian. Siswa dalam berpikir menunjukkan  seberapa tinggi derajat keaslian ide-ide yang dikemukakan siswa . Jika seseorang atau kelompok siswa sampai ke suatu ide yang unik atau pemahaman yang dalam atau tingkat kesignifikanannya tinggi harus dinilai tinggi.
4.      Elegansi. Proses berpikir siswa menunjukkan derajat keunggulan dalam ide yang dikemukakan. Indikasinya adalah ada siswa yang menyatakan ide dengan ambigu, sedang yang lain menyatakan ide yang sederhana, jelas dan tepat.
5.      Pemahaman konseptual. Siswa mampu menjelaskan keterkaitan konsep-konsep/prinsip sehingga diindikasikan adanya jaringan konsep dalam benak siswa yang kaya akan hubungan-hubungan, sehingga suatu unit pengetahuan konseptual tidak terisolasi dari informasi lain atau adanya keterpaduan konsep.
6.      Pemahaman prosedural. Siswa mampu menunjukkan dua vagian yang berbeda, yang pertama tersusun sebagai bahasa formal atau sistem representasi simbol, dan kedua terdiri dari algoritma atau aturan untuk menyelesaikan tugas. Dalam pemahaman prosedural tersebut, indikasi kriteria memuat bagaimana hasilnya, menjelaskan hasil tersebut, dan menunjukkan proses mendapat hasil tersebut.
7.      Kompeten dalam strategi. Siswa kompeten dalam strategi diindikasikan dengan kemampuan memformulasikan, menyatakan, dan menyelesaikan tugas.
8.      Penalaran yang adaptif. Siswa yang penalarannya adaptif diindikasikan dengan siswa dalam bekerjanya mampu berpikir logik, merefleksi, menjelaskan, dan menjustifikasi.
9.      Disposisi produktif. Siswa diindikasi cenderung atau terbiasa dalam melihat ilmu sebagai kegunaan, kebermaknaan, pasangan keyakinan yang mantap dan efektifitas dalam dirinya.
Dengan 9 kriteria penilaian tersebut tentu saja diperlukan instrumen yang sekiranya dapat mengungkapkan antara lain kemampuan memahami konsep, penalaran dan komunikasi, menyelesaikan masalah. Dalam komunikasi atau penyelesaian masalah tentu tidak terlepas dari penalaran yang pelaksanaannya: merepresentasikan, mendengarkan, membaca, mendiskusikan, atau menulis (Baroody, 1993). Dalam penalaran akan nampak kemampuan mengaitkan konsep dan aplikasinya dalam pemahaman lanjutan atau penyelesaian masalah atau menganalogikan dan ini terkait di dalam komunikasi.
Penilaian komprehensif memerlukan instrumen penilaian yang mengacu pada 9 kriteria penilaian (tidak harus memuat semuanya), sehingga penilaian terhadap hasil dan proses belajar diharapkan optimal, akurat, dan adil. Dari instrumen penilaian yang tersusun seperti uraian diatas, diharapkan guru dapat menetapkan keputusan terhadap kemampuan atau kompetensi siswa. Instrumen yang digunakan untuk penjaringan/monitoring proses belajar siswa dapat berbentuk tes/ujian tulis/lisan, tes penampilan, proyek, dan portofolio.

F. Penutup
Model pembelajaran kreatif dan produktif tidak terlepas dari kelemahan di samping kekuatan yang dimilikinya. Kelemahan tersebut, antara lain, terkait dengan kesiapan guru dan siswa untuk terlibat dalam suatu model pembelajaran yang memang sangat berbeda dari pembelajaran tradisional. Guru yang terbiasa membelajarkan semua materi, mungkin memerlukan waktu untuk dapat secara berangsur-angsur mengubah kebiasaan tersebut. Ketidaksiapan guru untuk mengelola pembelajaran seperti ini dapat diatasi dengan pelatihan yang kemudian disertai dengan kemauan yang kuat untuk mencobakannya. Sementara itu, ketidaksiapan siswa dapat diatasi dengan menyediakan panduan yang, antara lain, memuat cara kerja yang jelas, petunjuk tentang sumber yang dapat dieksplorasi, serta deskripsi tentang hasil akhir yang diharapkan. Kendala lain adalah waktu. Model inif memerlukan waktu yang cukup panjang dan fleksibel, meskipun untuk topik-topik tertentu, waktu yang diperlukan mungkin cukup dua kali tatap muka ditambah dengan kegiatan terstruktur dan mandiri. Terlepas dari kelemahannya, model pembelajaran kreatif dan produktif mempunyai kekuatan seperti yang sudah dideskripsikan dalam dampak instruksional dan dampak pengiring. Jika kelemahan dapat diminimalkan, maka kekuatan model ini akan membuahkan proses dan hasil belajar yang dapat memacu kreativitas, sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran.
Teknik evaluasi yang dilakukan dalam model ini  adalah penilaian komprehensif yang dilakukan secara kontinu dan terpadu dalam pembelajaran. Sebagai operasionalisasinya penilaian dapat diaplikasikan kedalam cara bagaimana siswa menyelesaikan suatu masalah, sehingga dapat ditetapkan prestasi belajar siswa.

G.  Sumber Bacaan
Baroody, Aj. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Comunication. New York: Macmilan
Depdiknas. 2005. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Direktorat Ketenagaan
Grouws, DA(ed). 1992. Handbook of Reasearch on Mathematic Teaching and Learning. New York: Macmillan
Hudoyo, H, 2005. Kapita Selekta Pembelajarn Matematilka. Malang: FMIPA UM
..................., 2005. Pengembangan Penilaian Kognitif dalam Meningkatkan Prestasi Siswa. Yogyakarta: Jurusan P Matematika UNY.
Sawada T. 1997. Developing Lesson Plans. Reston: NCTM         



Minggu, 21 Agustus 2011

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA



A. Pendahuluan
Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah 'guru' dan 'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud bukan sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah 'digugu' (didengar) dan 'ditiru' (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya.
Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter. 

B. Pentingnya Pendidikan Karakter
Tindakan menyimpang yang dilakukan pelajar membuat pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan di berbagai jenjang sekolah.Fondasi karakter yang kuat,tentunya juga akan menjadikan pelajar mampu bersaing kelak di kancah internasional. Wajah pendidikan Indonesia tercoreng dengan berbagai pemberitaan miring. Sebut saja mulai aksi tawuran, bullying, penyalahgunaan narkotika dan alkohol, seks bebas di kalangan pelajar yang berujung pada aborsi,dan sebagainya. Namun, tidak sedikit pula pelajar Indonesia yang berhasil menorehkan prestasi di berbagai bidang dan diakui dunia. Fakta yang ada menunjukkan, sudah saatnya pendidikan karakter kembali dimantapkan lewat pendidikan di bangku sekolah.
Bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada Mei silam, Kementrian Pendidikan Nasional mencanangkan penerapan pendidikan karakter pada semua jenjang pendidikan yang dimulai sejak sekolah dasar (SD). Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, pendidikan karakter pada jenjang SD mendapat porsi lebih besar ketimbang tingkat lainnya. Hal ini agar lebih mudah diajarkan dan melekat di jiwa anak anak itu hingga dewasa kelak.
Karena jika tidak terbentuk sejak dini, maka akan susah untuk mengubah karakter seseorang ke depannya. Pendidikan karakter yang akan diterapkan di sekolah-sekolah tidak diajarkan dalam mata pelajaran khusus. “Namun,dilaksanakan dalam keseharian pembelajaran yang sudah berjalan di sekolah,”. Pendidikan karakter harus mampu menyukseskan proses internalisasi nilai-nilai moral. “Jadi, bukan sekadar mengetahui mana yang baik dan buruk”.
Seorang siswa juga harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan benar dalam kehidupan sehari hari,”. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan, sehingga menjadi insan kamil.
Penerapan pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan semua komponen (stakeholders), termasuk komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Di beberapa sekolah,pendidikan karakter sudah menjadi bagian dari keseharian dan berjalan dengan tertib. Ada sekolah yang membagi dua target utamanya, yakni budi pekerti luhur dan jiwa kepemimpinan (leadership) yang merupakan bagian dari pembentukan karakter siswanya. Kedua kegiatan ini bukan berada dalam mata pelajaran tertentu, melainkan terintegrasi pada seluruh pelajaran dan ritual, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Sekolah harus mendidik siswa agar berkarakter sejak kedatangan hingga kembali ke rumah.

C. Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Matematika
Sebagai contoh para pendidik matematika perlu merenungi kembali sebenarnya untuk apa matematika diajarkan kepada siswa? Tentu bukan untuk mengetahui semua matematika yang ada atau sebanyak mungkin mengetahui matematika. Jawab yang harus menjadi perhatian adalah matematika diberikan kepada siswa untuk membantu siswa agar tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta terampil menggunakan matematika dan penalarannya dalam kehidupannya kelak. Ini berakibat proses pembelajaran matematika harus diupayakan secara terencana agar dapat mencapai tidak saja tujuan dalam ranah kognitif, tetapi juga afektif, serta psikomotor.  Ini berarti pembelajaran nilai dengan wahana matematika perlu dikembangkan.
Pembelajaran matematika tidak lagi hanya tertumpu pada pencapaian tujuan kognitif, namun sekaligus harus meningkatkan pencapaian tujuan afektif dan psikomotor. Dengan demikian pembelajaran matematika harus meningkatkan perhatian kepada pembelajaran nilai-nilai. Ini berarti bahwa materi yang akan diberikan kepada siswa harus benar-benar diseleksi, baik yang lama maupun yang baru. Banyaknya materi bukanlah tujuan pembelajaran matematika di pendidikan dasar 9 tahun, tetapi materi yang mempunyai banyak nilai harus menjadi pilihan dalam menentukan kurikulum sekolah. Untuk itu perlu diupayakan bagaimana memfungsikan matematika sekolah sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, ketrampilan, serta untuk membentuk karakter siswa.

D. Pembelajaran Nilai by Chance
Pembelajaran matematika tidak hanya mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang membentuk karakter siswa. Untuk dapat mengetahui apakah nilai edukasi pembentuk karakter siswa telah tercapai tidaklah mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan upaya yang terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama.
Sadar ataupun tidak seseorang yang mempelajari matematika telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan-kesepakatan itu terdapat dalam matematika yang rendah maupun yang tinggi. Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa symbol atau lambang, istilah atau konsep, definisi, serta aksioma. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali kesepakatan-kesepakatan, baik yang tertulis maupun yang tidak. Dengan demikian seseorang yang telah dibiasakan belajar matematika yang penuh kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam matematika (yang berasas dikotomi) ketaatasaan atau konsistensi yaitu tidak dibenarkannya muncul kontradiksi, merupakan hal yang sangat penting dan harus dipertahankan. Bila pernyataan “melalui suatu titik P diluar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a” diterima sebagai benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b” harus ditetapkan sebagai salah. Inilah salah satu contoh tentang konsistensi dalam matematika. Seseorang yang telah terbiasa berpikir matematika, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan.
Dari ciri-ciri matematika sebagai ilmu banyak sekali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dengan mempelajari matematika diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika itu akan tercapai dengan sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam bersikap, akan jujur, akan taat pada aturan, bersikap demokratis, dan sebagainya. Perencanaan pembelajaran semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-chance.
Pembelajaran nilai diharapkan juga tercapai dengan model pembelajaran yang dipilih guru dalam mengajarkan matematika. Misalkan seorang guru melaksanakan model pembelajaran kooperatif, sewaktu ia harus menyampaikan informasi ataupun konsep dengan metode ceramah, maka diharapkan siswa dengan sendirinya mengetahui nilai “ ing ngarsa sung tuladha”, ia harus benar-benar siap dan tahu benar bahwa contoh konsep yang ia berikan adalah baik dan benar. Hal serupa juga terjadi sewaktu guru melaksanakan pembelajaran model direct instruction . Bila seorang guru sedang melaksanakan model pembelajaran matematika dengan diskusi siswa, dan melihat bahwa arah diskusi tidak cocok dengan tujuan pembelajaran, kemudian melalui pertanyaan ia meluruskannya, maka saat itu ia  mengharapkan siswa mengetahui nilai “ ing madya mangun karsa”. Tetapi bila saat diskusi berjalan yang berbicara siswa tertentu saja, guru memberi dorongan agar siswa yang lain juga ikut mengajukan pendapat, maka saat itu ia mengharapkan siswa mengerti nilai “tut wuri handayani”. Perencanaan pembelajaran matematika yang mengharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika atau nilai-nilai dalam proses pembelajaran itu tercapai dengan sendirinya dinamakan perencanaan pembelajaran nilai by-chance

E. Pembelajaran Nilai by Design
Perencanaan pembelajaran nilai dalam matematika secara  by chance masih juga tetap diperlukan. Namun dengan adanya perkembangan matematika yang demikian pesat serta diperlukannya matematika dan pemikiran matematis diberbagai bidang  kerja yang tidak langsung menggunakan rumus-rumus matematika, maka diperlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai tersebut. Perencanaan pembalajaran matematika semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-design .
Perencanan pembelajaran by-design dapat dilakukan dengan merancang suatu scenario pembelajaran, maupun memilih model pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, sikap demokratis siswa akan dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar matematika. Sudah barang tentu dalam merancang scenario pembelajaran by-design , rumusan tujuan pembelajaran perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor.
Sikap demokratis siswa akan dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar matematika dengan materi ajar jajargenjang, dengan scenario pembelajaran yang menggunakan proses Inactive-Iconic-Symbolic yang dikemukakan oleh J. Brunner. Misalkan guru melakukan proses pembelajaran sebagai berikut ini:
  1. Siswa dihadapkan pada sebuah segitiga ABC dari kertas. Dengan titik tengah salah satu sisinya, missal P titik tengah dari sisi AC, siswa diminta memutar segitiga ABC searah jarum jam sebesar 1800. Bila segitiga dalam letak awal dan akhir dijiplak atau digambar, maka akan terjadi segiempat yang diberi nama jajargenjang (misal diberi nama ABCBl).
  2. Siswa diminta mengamati hasil kerjanya dan mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama, sebagai akibat pemutaran itu. Temuan masing-masing siswa atau kelompok siswa itu kemudian ditulis.
  3. Berdasar pada temuan masing-masing siswa atau kelompok siswa, mereka diminta untuk membuat kalimat definisi. Mungkin dengan bantuan guru misal, guru menulis dipapan tulis; “Jajargenjang adalah segi empat yang ……” .
  4. Tentu akan diperoleh beberapa definisi sesuai dengan temuan siswa atau kelompok siswa masing-masing.
  5. Setelah guru dapat menyatakan bahwa masing-masing definisi yang dibuat siswa benar semua, guru mengarahkan siswa untuk menyepakati salah satu definisi saja yang dipakai.
  6. Selanjutnya masalah-masalah tentang jajargenjang diselesaikan menggunakan definisi tersebut dan sifat-sifat lain yang telah dipelajari siswa.
Kalau diperhatikan secara hati-hati kegiatan belajar mengajar yang direncanakan tersebut secara sengaja memasukkan nilai edukasi sesuai domain afektif dan psikomotor. Siswa diminta aktif secara fisik membentuk jajargenjang, kemudian secara cermat mencari sisi-sisi dan sudut-sudut yang sama, kemudian secara bebas mengemukakan pendapat tentang definisi jajargenjang, dan selanjutnya membuat kesepakatan tentang definisi yang akan dipakai selanjutnya. Scenario pembelajaran matematika tersebut menunjukkan bahwa sikap demokratis dapat dibentuk melalui kegiatan belajar matematika.

F. Kesimpulan
            Tidak semua tamatan pendidikan dasar dalam kehidupan selanjutnya akan menggunakan langsung matematika, tetapi dapat dipastikan bahwa sebagian besar diantara mereka akan menggunakan penalaran matematika. Perlu diupayakan bagaimana memfungsikan matematika sekolah sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan kecerdasan, ketrampilan, serta untuk membentuk karakter siswa.
Perencanaan pembelajaran matematika yang mengharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika itu akan tercapai dengan sendirinya disebut perencanaan pembelajaran by-chance. Dengan adanya perkembangan matematika yang demikian pesat serta diperlukannya matematika dan pemikiran matematis diberbagai bidang  maka diperlukan perencanaan pembelajaran matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai yang terkandung dalam matematika. Perencanaan pembalajaran matematika semacam itu disebut perencanaan pembelajaran by-design . Perencanan pembelajaran by-design dapat dilakukan dengan merancang suatu scenario pembelajaran, maupun memilih model pembelajaran tertentu. Dalam merancang scenario pembelajaran by-design , rumusan tujuan pembelajaran perlu dilengkapi dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini. 2010. Pendidikan Karakter. REPUBLIKA, , Senin, 14 Juni 2010
Carin, Arthur A. 1993. Teaching Modern Science. Sixth edition. Merril, an imprint of Macmillian Publishing Company, New York.
Davidson, Neil & Kroll D.L. 1991. An Overview of Research on Cooperatif Learning Related to Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education. 22(5): 362-365.
 Direktorat SLTP. 2000. Memahami dan Menangani Siswa dengan Problem dalam Belajar. Depdiknas, Jakarta.
Hill, Susan dan Tim Hill. 1993. The Collaborative Classroom : A guide to cooperatif  learning. Viktoria : Eleamor Cartain Publishing.
Johnson, David W. dan Rager T. Johnson. 1994. Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning.Fourth edition. Allyn ang Bacon, Massachussets.
Joyce, Bruce. dan Marsha Weil. 1992. Models of Teaching. Allyn ang Bacon, Massachussets.
Widada, Wahyu. 1999. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika SMU yang Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Tesis. IKIP Surabaya, Surabaya.


PERUBAHAN PARADIGMA GURU MENGAJAR KE SISWA BELAJAR MATEMATIKA


Pendahuluan
Mengajar matematika dari sejak lama mendasarkan pada asas stimulus respon (S-R). Perolehan pengetahuan dari sekumpulan S-R, bila dikumpulkan menjadi sejumlah pengetahuan dan makin kuat bila diberi penguatan. Karena matematika itu hirarkis, maka tahap belajar disusun secara hirarkis dari yang sederhana ke yang kompleks. Tujuan mengajar adalah pencapaian belajar yang perumusannya dapat diamati dan diukur. Untuk itu ciri paradigma mengajar adalah: Informasi (termasuk definisi dan sifat), diikuti contoh soal,dan kemudian diberi soal-soal yang pada umumnya mirip dengan contoh soal. Dengan demikian drill/latihan nampak dominan, evaluasi hasil belajar tertuju ke pencapaian belajar sesuai/tidaknya dengan tujuan yang dirumuskan.
Dari fakta menunjukkan, tahun demi tahun hasil ujian matematika selalu rendah, hasil lomba matematika tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Secara implisit berarti siswa gagal dalam memahami topok-topik matematika. Kegagalan ini bisa disebabkan karena guru mengajar terlalu cepat (mengejar target kurikulum) sehingga pemahaman siswa tidak cukup waktu untuk berkembang, atau pembelajarannya tidak sesuai dengan tahap-tahap berpikir anak. Terlalu dini mengintroduksi konsep formal bisa menyebabkan tertundanya kemajuan dari pada menguatkan konsep.
Dari situasi tersebut perlu adanya perubahan orientasi dari mengajar agar matematika dipahami siswa , menjadi mengajar agar siswa belajar bagaimana belajar matematika .

Paradigma Belajar Matematika
Pembelajaran adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip dengan kemmapuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep-konsep/prinsip itu terbangun kembali. Dalam pembentukan pemahaman terhadap konsep/prinsip perlu difasilitasi bahwa kondisi lingkungan belajar tersedia dengan memadai. Pelajar dikatakan aktif belajar, bila pelajar berkemauan belajar dan belajar dilakukan bukan karena diinstruksikan untuk belajar. Pengajar dikatakan aktif mengajar bila pengajar melaksanakan bimbingan dan memberikan arahan belajar kepada pelajar dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, karena pengajar perlu melakukannya.
Menurut Owen (1998:106) siklus belajar pada tahap pertama adalah experiencing, para siswa harus secara aktif dilibatkan dalam belajar. Mereka harus dapat menggunakan apa yang ada dalam aktivitas itu untuk berpikir secara matematis. Pada tahap discussing, reaksi dan observasi yang dibangun dari proses pengalaman perlu dibagikan (to be shared) kepada teman lain. Penjelasan, justifikasi, dan negosiasi makna melalui komunikasi akan membantu siswa mengevaluasi dan mengharapkan mendapatkan validasi tentang pengetahuan yang dibagikan (to be shared). Pada tahap generalisasi (Generalising) para siswa perlu membangun pengetahuan mereka sendiri melalui konstruksi individual dan interaksi dengan komunitas mereka, yang mengindikasikan hipotesis pengetahuan mereka saat ini. Hipotesis atau generalisasi ini kemudian akan diuji kelangsungannya melalui situasi problematik yang lain. Pada tahap penerapan (applying), perencanaan dan penerapan bagaimana menggunakan generalisasi yang diterima atau generalisasi yang baru akan divalidasi menjadi pengetahuan yang dapat berjalan terus (viable), atau disarankan untuk ditolak, dan mungkin akan mulai suatu siklus baru.
Hudojo (2003) menggambarkan proses rekonstruksi yang dilakukan siswa yang merupakan modifikasi dari hubungan antara pengetahuan subyektif dan obyektif yang dikemukakan Ernest (1991) melalui dua tahap, yaitu pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan siswa dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, dan mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi matematika sebagai konsepsi awal. Konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Pengetahuan subyektif matematika tersebut dikolaborasikan dengan siswa lain, guru, dan perangkat belajar (siswa-siswa-guru-perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Matematika yang dikonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding yang direpresentasikan kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi siswa setelah belajar, sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika.

Contoh:
Konsep setengah dapat dibangun dengan cara siswa di hadapkan pada worksheet berikut, Siswa diminta mengarsir tiap-tiap persegi panjang yang menunjukkan setengah, seperempat, dsb
Konsep luas daerah dapat dibangun dengan cara siswa dihadapkan pada kertas bertitik untuk menggambar bangun sebanyak-banyak dengan luas misalnya 3, 4, atau 5 satuan luas.
Apabila pembelajaran jenis-jenis tersebut dilakukan maka kemampuan siswa untuk melakukan eksplorasi pengetahuan matematika akan terlatih, dan akibatnya tujuan pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan intelektual tingkat tinggi siswa sekolah dasar akan dapat diwujudkan.
Untuk mendukung kemampuan siswa dalam mengeksplorasi pengetahuan matematika, penekananan kemampuan BACA, TULIS, DAN HITUNG, hendaknya dimaknai sebagai kemampuan membaca matematika, kemampuan menulis matematika, dan tentunya kemampuan menghitung.
Ketrampilan membaca matematika merupakan satu bentuk kemampuan komunikasi matematik dan mempunyai peran sentral dalam pembelajaran matematika. Melalui membaca siswa mengkonstruksi makna matematika sehingga siswa belajar bermakna secara aktif. Istilah membaca diartikan sebagai serangkaian ketrampilan untuk menyusun intisari informasi dari suatu teks. Ketrampilan membaca teks matematika siswa dapat diestimasi melalui kemampuan mereka menyampaikan secara lisan atau menuliskan kembali ide matematika dengan bahasanya sendiri

Contoh Ketrampilan membaca:
Sebuah foto berukuran 4 x 6 cm, diperbesar 3 kali, berapa keliling foto setelah diperbesar.
Rumah Gita dan Rumah Gani berselang 7 rumah berada di deretan nomor genap. Rumah Gani bernomor 46, berapa nomor rumah Gita?

Proses Pembelajaran Matematika SD
Karena matematika SD mendasari belajar matematika selanjutnya, saran-saran diarahkan pada pendidikan matematika di SD
1.     Aspek interaksi pengajar dan pelajar harus tinggi
·        Menghindarkan pelajar menghafal secara mekanistik konsep-konsep matematika
·        Pengajar membantu pelajar untuk berpikir tentang apa yang dipelajari pelajar, sehingga kemampuan pelajar dapat dikontrol
·        Pengajar memberikan waktu yang cukup untuk berpikir kepada pelajar agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan.
·        Pengajar perlu seringkali memberikan pengalaman sukses kepada pelajar pada tingkat kemampuannya
·        Pengajar membantu pelajar agar dapat merasa bahwa kesalahan yang dibuat bukanlah hal yang jelek, tetapi sebagai pengalaman belajar yang baik
2.     Aspek kualitas dan kuantitas tugas
·        Menghindarkan belajar konsep yang tidak mengaitkan konsep yang sedang dipelajari dan telah dipelajari
·        Memberikan konsep matematika dengan mengkonstruksi, menyusun notasi, perbedaan dan variasi, dan menghubungkan suatu konsep dengan konsep lain
3.     Proses mengajar harus aktif dengan menggunakan pertanyaan (bahasa) yang memungkinkan dapat menggiring pelajar untuk belajar.
4.     Latihan soal perlu dibagi menjadi 2 yaitu drill latihan menghafal sehingga siswa menjawab cepat, dan latihan menyelesaikan masalah

Penilaian yang Komprehensif
Penilaian keberhasilan siswa yang menggambarkan prestasi siswa tidak hanya sekedar ditunjukkan oleh hasil tes atau ujian, tetapi juga dimonitornya secara terus menerus dan komprehensif dari semua kegiatan yang dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung.Untuk itu perlu dibuat criteria untuk menilai apa yang telah dipelajari yaitu:
1.     Kelancaran: indikasinya adalah berapa banyak solusi yang dapat dihasilkan siswa dalam memecahkan masalah
2.     Fleksibilitas: Berapa banayak ide matematika yang berbeda  dikemukakan siswa
3.     Keaslian : Berapa derajat keaslian ide yang ia kemukakan
4.     Elegansi : derajat keunggulan ide yang dikemukakan.
5.     Pemahaman konseptual : kemampuan menjelaskan keterkaitan antar konsep atau prinsip
6.     Pemahaman procedural : bagaimana hasil pekerjaan siswa, bagaimana menjelaskan hasil tersebut dan mampu menunjukkan proses mendapatkan hasil itu.
7.     Kompeten dalam strategi: Kemampuan dalam memformulasikan, menyatakan dan menyelesaikan tugas.
8.     Penalaran yang adaptif: mampu berpikir logis, merefleksi, menjelaskan, dan menjustifikasi
9.     Disposisi produktif : bagaimana kecenderungan siswa dalam melihat matematika sebagai kegunaan, kebermaknaan, keyakinan dan efektifitas dirinya.

Penutup
Perubahan paradigma dari mengajar ke belajar merupakan antisipasi belajar yang berorientasi pada kurikulum berbasis kompetensi. Aktifitas siswa direpresentasikan dengan cara mengkonstruk pengetahuaan matematika. Aktifitas Guru direpresentasikan dengan cara melakukan scaffolding dan menjadi fasilitator. Yang paling penting adalah sikap guru untuk mau berubah.

Sumber Bacaan:
Hudojo, Herman. 2003. Guru Matematika Konsruktivis, Makalah: Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika “Perubahan Paradigma dari Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar”, Yogyakarta : USD 27-28 Maret 2003
NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics .USA. The NTCM
Owens, O; Perry, B; Conroy, J; Howe, P, 1998. Responsiveness and Affective Processes in The Interactive Construction of Understanding in Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 35, 105-127
Soedjadi, R .2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesi:Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan.  Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas.